CYBER
LAW
Pengertian
Cyber Law
Cyber Law ialah sebuah aturan yang berbentuk hukum yang
di buat khusus untuk dunia digital atau internet. Dengan makin banyak dan
berkembangnya tindak kriminal dan kejahatan yang ada di dunia internet, maka
mau tidak mau hukum dan aturan tersebut harus di buat. Cyber law sendiri ruang
lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau
subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai
pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyber Law sendiri
merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law.
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang
umumnya diasosiasikan dengan internet.
Cyberlaw
merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang
berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan
memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan
memasuki dunia cyber atau maya.
Tujuan Cyber
Law
Cyberlaw sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya
pencegahan tindak pidana, ataupun penanganan tindak pidana. Cyber law
akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap
kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan
pencucian uang dan kejahatan terorisme.
Ruang Lingkup Cyber Law
Pembahasan mengenai ruang lingkup ”cyber law” dimaksudkan sebagai
inventarisasi atas persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan
berkaitan dengan pemanfaatan Internet. Secara garis besar ruang lingkup ”cyber
law” ini berkaitan dengan persoalan-persoalan atau aspek hukum dari:
- E-Commerce,
- Trademark/Domain Names,
- Privacy and Security on the Internet,
- Copyright,
- Defamation,
- Content Regulation,
- Disptle Settlement, dan sebagainya.
Topik-topik Cyber Law
Secara
garis besar ada lima topik dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
- Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
- On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
- Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
- Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.
- Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.
Komponen-komponen Cyberlaw
1. Pertama, tentang yurisdiksi hukum dan
aspek-aspek terkait; komponen ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum
yang berlaku dan diterapkan di dalam dunia maya itu;
2. Kedua, tentang landasan penggunaan
internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan
dengan tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability,
tangung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet
provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui
jaringan internet;
3. Ketiga, tentang aspek hak milik
intelektual dimana adanya aspek tentang patent, merek dagang rahasia yang
diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber;
4. Keempat, tentang aspek kerahasiaan yang
dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara
asal dari pihak yang mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian
dari
sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan;
sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan;
5. Kelima, tentang aspek hukum yang menjamin
keamanan dari setiap pengguna internet;
6. Keenam, tentang ketentuan hukum yang
memformulasikan aspek kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai
investasi yang dapat dihitung sesuai dengan prinisip-prinsip keuangan atau
akuntansi;
7. Ketujuh, tentang aspek hukum yang
memberikan legalisasi atas internet
sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.
sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.
Asas-Asas Cyber Law
Dalam
kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa
digunakan, yaitu :
1. Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan
hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak
pidananya dilakukan di negara lain.
2. Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang
berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan
dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
3. nationality yang menentukan bahwa negara
mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
4. passive nationality yang menekankan jurisdiksi
berdasarkan kewarganegaraan korban.
5. protective principle yang menyatakan berlakunya hukum
didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara
dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan
apabila korban adalah negara atau pemerintah,
6. Universality. Asas
ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum
kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest
jurisdiction”.
Pada mulanya asas ini
menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku
pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan,
genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas
jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti
computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan
bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius
berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional. Oleh karena itu, untuk
ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang
berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber
dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and
passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally
significant (online) phenomena and physical location.
Teori-Teori Cyberlaw
Berdasarkan
karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan
beberapa teori sebagai berikut :
1. The Theory of the Uploader and the
Downloader,
Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan
uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan
kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk
uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah
negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan
perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang
menggunakan jurisdiksi ini.
2. The Theory of Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan
server dimana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat
sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di
server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini
akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing.
3. The Theory of InternationalSpaces. Ruang cyber dianggap sebagai the
fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik,
melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.
Kebijakan
Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Penyalahgunaan Informasi Dunia Maya
“Salah
satu kemajuan terknologi informasi yang diciptakan pada akhir abad ke-20
adalah internet. Jaringan komputer-komputer yang saling terhubung
membuat hilangnya batas-batas wilayah. Dunia maya menginternasionalisasi dunia
nyata. Dunia cyber yang sering disebut dunia maya menjadi titik awal akselerasi
distribusi informasi dan membuat dunia internasional menjadi tanpas
batas. “Teknologi informatika saat ini menjadi pedang bermata dua, karena
selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban
dunia, sekaligus menjadi sarana efektif melawan hukum. Maka untuk menghadapi
sifat melawan hukum yang terbawa dalam perkembangan informasi data di dunia
maya. Diperlukan sebuah perlawanan dari hukum positif yang ada. “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya” hal ini adalah asas
legalitas yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana merupakan salah satu instrumen
dalam menghadapi perbuatan melawan hukum. Maka perlu dikaji lebih mendalam
secara teoritik bagaimana kebijakan hukum pidana yang dalam faktanya sering
kalah satu langkah dengan tindak pidana. Dalam hal ini terhadap kejahatan
penyalahgunaan informasi data di dunia cyber.
Sesuai Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11 tahun
2008 tentang ITE) Pasal 1 angka 1 bahwa: “Informasi elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, poto, electronic data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
CYBERLAW
DI INDONESIA
Sejak satu dekade terakhir Indonesia cukup serius menangani
berbagai kasus terkait Cybercrime. Menyusun berbagai rancangan peraturan dan
perundang-undangan yang mengatur aktivitas user di dunia maya. Dengan peran
aktif pemerintah seperti itu, dapat dikatakan Cyberlaw telah mulai diterapkan
dengan baik di Indonesia.
Inisiatif untuk membuat
“cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu itu
adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai transaksi
elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat
digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya yang
generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita
bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak
terlaksana.
Pasal dalam Undang-undang ITE
Pada awalnya kebutuhan akan Cyber Law di Indonesia
berangkat dari mulai banyaknya ransaksi-transaksi perdagangan yang terjadi
lewat dunia maya. Atas transaksi-transaksi tersebut, sudah sewajarnya konsumen,
terutama konsumen akhir (end-user) diberikan perlindungan hukum yang
kuat agar tidak dirugikan, mengingat transaksi perdagangan yang dilakukan di
dunia maya sangat rawan penipuan.
Dan dalam perkembangannya, UU ITE yang rancangannya sudah
masuk dalam agenda DPR sejak hampir sepuluh tahun yang lalu, terus mengalami
penambahan disana-sini, termasuk perlindungan dari serangan hacker,
pelarangan penayangan content yang memuat unsur-unsur pornografi,
pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama baik, penghinaan dan lain sebagainya.
Terdapat sekitar 11 pasal yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, yang mencakup hampir 22 jenis
perbuatan yang dilarang. Dari 11 Pasal tersebut ada 3 pasal yang dicurigai akan
membahayakan blogger, pasal-pasal yang mengatur larangan-larangan tertentu di
dunia maya, yang bisa saja dilakukan oleh seorang blogger tanpa dia sadari.
Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), serta
Pasal 45 ayat (1) dan (2).
Pasal 27 ayat (1)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.
Pasal 27 ayat (3)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 28 ayat (2)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal
Pencemaran Nama Baik
Selain pasal pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE
tersebut di atas, Kitab-Kitab Undang Hukum Pidana juga mengatur tentang tindak
pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal-pasal pidana mengenai
penghinaan dan pencemaran nama baik ini memang sudah lama menjadi momok dalam
dunia hukum. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 310 dan 311 KUHP.
Pasal
310 KUHP :
“(1)
Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui
umum diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan……..”
“(2)
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan
atau ditempelkan dimuka umum,maka diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan…”
“(3)
Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.
Pasal 311 KUHP:
“(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran tertulis, dalam
hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak
membuktikannya dan tuduhan dilakukan bettentangan dengan apa yang diketahui,
maka da diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama 4
tahun”
Sumber: